HAK DAN KEDUDUKAN JANDA

BAB III
HAK DAN KEDUDUKAN JANDA DAN ANAK-ANAKNYA DALAM HUKUM WARIS ADAT SUKU DAYAK NGAJU DI KALIMANTAN TENGAH

A. HAK DAN KEDUDUKAN JANDA TERHADAP HARTA PENINGGALAN SUAMINYA

1. Hak dan kedudukan janda menurut pandangan suku dayak ngaju
Suku dayak ngaju menganut sistem kekeluargaan bilateral/parental, yakni tidak membedakan jenis kelamin, baik laki-laki maupun perempuan mempunyai hak yang sama dalam pembagian warisan. Demikian pula tentang hak dan kedudukan para janda, dalam hukum adat dayak diakui sebagai ahli waris. Seorang janda diakui hak-haknya, ia berhak atas harta gono gini ( harta perpantangan ). Hal ini dapat dilihat dari susunan penerima waris menurut tradisi suku dayak yang mencantumkan isteri sebagai ahli waris yaitu : lsteri, anak kandung, cucu, anak angkat, saudara kandung, saudara ibu/ saudara bapak.
Selain itu kedudukan janda diperkuat lagi dengan adanya perjanjian nikah (surat pelek) yang dibuat sebelum pernikahan dilangsungkan yang memuat antara lain ; bahwa apabila mereka (suami-isteri) kelak tidak mempunyai anak kandung, maka harta warisan jatuh kepada janda( balu ).
Seperti telah disebutkan diatas bahwa hukum perkawinan adat dayak yang menjunjung tinggi sikap moral, maka dalam hal pembagian warisan suku dayak juga lebih berprinsif kepada pengakuan atas harkat dan martabat wanita, sehingga hak dan kedudukan wanita tetap diakui setara dengan laki-laki. Demikian pula seorang janda/para janda yang ditinggal suami, hak-hak mereka tetap diutamakan dan diakui, yakni tetap dapat menikmati dan memanfaatkan harta peninggaln suaminya.
Adapun hal-hal yang menjadi pertimbangan para demang adat dalam menetapkan kedudukan para janda sebagai ahli waris adalah karena :
- Para janda merupakan isteri dan ibu yang telah berjasa bagi suami dan anak-¬anaknya, memelihara dan melayani mereka, bahkan tidak sedikit yang ikut berperan dalam mencari nafkah untuk membantu mencukupi kebutuhan hidup sehari-hari.

- Para janda merupakan figur yang harus dilindungi, karena telah berjasa dalam rumah tangga, penyemangat suami dan dengan pengorbanan yang besar melahirkan anak-anak (dikiaskan dengan sebutan ehet peteng sebangkang, pisau petun kabangkang)

- Para janda yang telah berumah tangga puluhan tahun lebih yang telah merasakan pahit getirnya kehidupan dalam membina rumah tangga dan keluarga berhak diberi kedudukan yang layak dan berhak mendapat perlindungan.

Dengan berbagai pertimbangan itulah, maka para janda (balu) diberi hak dan kedudukan istimewa dibanding dengan ahli waris lain. Namun demikian terdapat pengecualian apabila janda tersebut telah kawin/ menikah lagi, baik dengan kerabat sendiri maupun dengan orang asing (orang lain suku) maka mereka tidak berhak lagi atas harta peninggalan suami, bahkan mereka yang telah kawin dengan orang lain suku, tidak diperkenankan tinggal dirumah yang selama ini mereka tinggal bersama kerabat, tetapi bila janda tersebut kawin masih dengan keluarga dekat, masih diperkenankan tinggal dirumah tersebut apabila ia dan suami barunya belum mampu mempunyai tempat tinggal sendiri, itupun terhadap rumah yang ditinggali dengan beberapa kerabat lainnya ( rumah betang ). Sedangkan apabila rumah tersebut merupakan rumah yang diperolehnya dari harta perpantangan dengan almarhum suaminya yang terdahulu maka ia tidak berhak tinggal dirumah tersebut dengan suaminya yang baru. Hal ini berlaku baik terhadap isteri yang pertama maupun isteri kedua.
Dalam hukum adat dayak, baik perkawinan yang monogami maupun yang poligami (hajambua/dayak) tidak akan mempengaruhi dalam hal pembagian waris. Hak untuk menikmati harta peninggalan suami adalah sama, yang membedakan kedudukan mereka sebagai isteri pertama dan isteri kedua adalah peranan mereka. Apabila mereka tinggal dalam satu rumah maka peranan isteri pertama lebih dominan dari pada isteri kedua. Misalnya dalam mengatur rumah tangga, mengatur uang belanja, dan lain-lain urusan rumah tangga terlebih dahulu dimintakan pendapat dari isteri tertua. Isteri pertama merupakan sosok yang patut dihormati dari isteri yang kedua, karena pengorbanannya mengizinkan suaminya kawin lagi. Namun dalam hal bersosialisasi dan berperan dalam masyarakat tidak ada perbedaan itu, baik isteri pertama maupun isteri kedua dapat berperan serta.
Dalam kepengurusan harta peninggalan dari suami mereka dilakukan bersama-sama serta menikmatinya bersama-sama, seperti rumah yang dibangun suami mereka yang telah didiami bersama-sama antara isteri pertama dan kedua masih tetap dihuni bersama-sama sepeninggal suami mereka. Demikian juga barang-barang yang terdapat didalamnya dinikmati dan dipakai bersama-sama. Terhadap harta peninggalan yang berupa tanah, baik yang merupakan harta bersama maupun harta asal dari suami, tetap dimanfaatkan bersama untuk para janda dan anak-anaknya, namun apabila ada anak laki-laki yang sudah berumah tangga dan mau hidup mencar/ berpisah dari rumpun kekerabatan maka diberi bekal bagiannya terhadap tanah peninggalan orang tuanya tersebut, pemanfaatannya diserahkan pada anak tersebut apakah untuk didirikan rumah untuk tempat tinggalnya ataukah untuk dijadikan mata pencaharian seperti dijadikan perkebunan dan sebagainya. Kehidupan mereka tetap berjalan meskipun ditinggal suami mereka, karena mereka terbiasa ikut mencari nafkah untuk mencukupi kebutuhan sehari-hari, sehingga tidak menjadi kendala bagi mereka walaupun ditinggal suami, terlebih lagi dengan terkumpulnya para kerabat dekat mereka dirumah itu, maka semangat gotong royong, saling asih dan asuh dan kekeluargaan akan sangat membantu para janda dalam mengaungi kehidupan mereka selanjutnya.
Keadaan seperti tersebut diatas tentunya tidak bisa berjalan terus seperti itu, karena kemungkinan salah seorang janda tersebut menikah lagi. Jika demikian, halnya yang terjadi maka haknya untuk menikmati harta peninggalan suaminya tidak diperolehnya lagi, hal ini telah diuraikan diatas.
Selama ini dalam hal pembagian waris untuk para balu (janda) dalam perkawinan hajambua pada suku dayak ngaju di pedalaman kalimantan tengah, juga menurut wawancara penulis dengan seorang demang adat
disana, tak ada kendala yang berarti. Walaupun seorang suami yang memiliki beberapa isteri telah meninggal namun kehidupan rumah tangga tetap berjalan seperti biasa, hal tersebut disebabkan karena ;
1. Para isteri sudah biasa masing-masing mencari nafkah, dengan demikian dari segi ekonomi tidak begitu terganggu. Mereka dapat memenuhi kebutuhan hidup mereka. Ada yang menggarap tanah peninggalan suami dan hasilnya dinikmati bersama. Apabila tidak memiliki tanah garapan mereka mencari kayu bakar & hasil hutan lainnya untuk dijual, namun ada yang menggarap tanah orang lain dan upahnya dinikmati bersama.

2. Harta warisan suami, oleh demang adat diputuskan antuk dinikmati bersama, tidak boleh dibagi-bagi, seperti rumah, tanah garapan (kebun/sawah), didiami bersama dan dinikmati bersama hasilnya.

3. Kehidupan suku dayak ngaju dipedalaman pada umumnya masih jauh dari kemapanan, sehingga secara material tak ada yang patut diperebutkan. Harta benda yang mereka anggap bernilai adalah benda benda pusaka yang merupakan warisan leluhur turun-temurun. Benda pusaka inilah yang mereka anggap istimewa dan menurut tradisi adat dayak, anak perempuan yang tertualah yang berhak mewarisinya.

4. Suku dayak lebih mengutamakan perdamaian dan kekeluargaan dalam segala permasalahan, sehingga semangat gotong royong dan musyawarah mufakat selalu menyertai dalam segala tindakan dan keputusan mereka.

Disamping hal-hal tersebut diatas, para janda yang ditinggal suaminya makin akrab satu sama lain, mereka bekerja saling bahu membahu dan segala kesusahan ditanggung bersama. Hal inilah yang berbeda dari kehidupan berpoligami yang terjadi dikota-kota besar, yang sering terjadi perselisihan dan permusuhan, terlebih apabila suami mereka meninggal, tak dapat dielakan lagi terjadinya perebutan harta warisan dan berakhir dengan sengketa dipengadilan.
Demikian tergambar bahwa hukum adat mampu menempatkan hak dan kedudukan janda agar dapat diakui dan disejajarkan dengan ahli waris lainnya tanpa menimbulkan sengketa.
Dalam hal pendidikan dan pola pikir orang-orang suku dayak tidak semaju orang-orang perkotaan, tetapi dalam adat mereka lebih menghargai hak dan kedudukan seseorang, seperti halnya seorang janda apalagi janda yang sudah tua sangat dilindungi hak-haknya dan dibantu apabila ada yang dalam kesusahan. Keadaan inilah yang menjadikan suatu perkawinan poligami/hajambua yang banyak terjadi pada masyarakat suku dayak ngaju tidak banyak menimbulkan masalah baik yang menyangkut harta warisan maupun menyangkut hak dan kedudukan para janda.
Hal tersebut diatas bila dipandang menurut Undang-Undang Perkawinan Nomor 1 Tahun 1974 terutama kedudukan para janda terhadap harta bersama, agak berbeda, didalam pasal 65 ayat (1) huruf b menyatakan bahwa " isteri kedua dan seterusnya tidak mempunyai hak atas harta yang telah ada sebelum perkawinan dengan isteri kedua atau berikutnya itu terjadi". Selanjutnya dalam huruf c pasal dan ayat yang sama dinyatakan " semua isteri mempunyai hak yang sama atas harta bersama yang terjadi sejak perkawinannya masing-masing". Ketentuan tersebut menegaskan beberapa asas, yakni :
1. Dalam perkawinan poligami terbentuk beberapa paket harta bersama, hal ini tcrgantung dari berapa banyak isteri yang dikawini oleh seorang suami, jika seorang suami berpoligami dengan dua isteri, maka dalam kehidupan rumah tangganya terbentuk dua paket harta bersama antara masing- masing isterinya. Demikian seterusnya.
2. Terwujudnya harta bersama terhitung mulai tanggal perkawinan dilangsungkan.
3. Masing-masing harta bersama tersebut terpisah dan berdiri sendiri.
Dengan demikian dapat dijelaskan bahwa menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974, masing-masing isteri kedudukannya terhadap harta peninggalan suaminya terpisah, misalnya bila seorang laki-laki (A) menikah dengan seorang perempuan (X) terbentuk suatu paket harta bersama (paket 1), beberapa tahun kemudian menikah lagi dengar. Y maka terbentuk lagi satu paket harta bersama (paket II), apabila suaminya meninggal maka janda X hanya berhak atas harta bersama paket 1, dan Y hanya berhak atas harta bersama paket II.
Jadi masing-masing terpisah kedudukannya dalam harta bersama, hal ini sejalan dengan Putusan Mahkamah Agung No.248 K/Sip/1958 yang antara lain menegaskan bahwa " bilamana seorang laki-laki kawin dengan lebih dari seorang perempuan, sedangkan adapula lebih dari satu gono-gini, maka gono-gini itu dipisahkan.
Dalam perkawinan adat hajambua yang terjadi pada masyarakat Dayak Ngaju di Kalimantan Tengah, belum dapat diterapkan asas pemisahan harta bersama seperti yang dimaksud dalam pasal 65 Undang-Undang Nomor I Tahun 1974, karena mereka ( para janda ) pada umumnya tinggal dalam satu rumah, sehingga sulit untuk memisahkan harta mana yang merupakan harta dengan isteri pertama dan yang mana harta bersama isteri kedua . Namun demikian Undang-Undang Perkawinan bersifat lebih flexible, karena didalamnya dipakai kaidah " Sepanjang para pihak tidak menentukan lain " atau kaidah " diatur menurut hukumnya masing-masing ".



2. Hak dan kedudukan janda menurut hukum waris nasional.
Dalam hukum waris nasional, kedudukan janda dari seorang lelaki yang meninggal dunia pantas mendapat perhatian dan ternyata diperlakukan secara istimewa dalam ketiga hukum yaitu, hukum adat, hukum Islam dan hukum Burgerlijk wetboek (BW). Dalam hubungan dengan siwaris ( yang meninggal dunia) sudah barang tentu ada perbedaan antara janda perempuan disatu pihak dan anak-anak almarhum dilain pihak, yaitu dilihat dari sudut tali kekeluargaan berdasarkan atas persamaan darah. Tali kekeluargaan semacam ini pada umumnya sama sekali tidak ada antara almarhum dengan sijanda. Kalau pengertian ahli waris melulu dihubungkan dengan persamaan darah asal ini, maka sudah barang tentu bahwa janda pada hakekatnya tidak mungkin merupakan ahli waris dari almarhum.
Tetapi sebaliknya ada kenyataan bahwa pada dasarnya dalam suatu perkawinan, hubungan lahir dan bathin antara suami isteri dapat dikatakan demikian eratnya sehingga melebihi hubungan antara siwafat dengan sesama darah asal. Kenyataan ini menimbulkan suatu rasa keadilan, yang perihal warisan siwafat harus memberi kepada janda suatu kedudukan yang pantas disamping kedudukan anak-anak keturunan siwafat .
Janda mempunyai kedudukan yang bervariasi, tergantung pada sistem mana yang diberlakukan. padanya serta hukum darimana ia berasal. Misalnya jika janda tersebut tunduk pada hukum adat maka sudah semestinya hukum yang diberlakukan padanya adalah hukum adat. Sehingga semua hal yang berkaitan dengan hak maupun kedudukannya harus melewati aturan yang berlaku pada hukum adat tersebut, yang antara lain misalnya dipengaruhi oleh prinsip-prinsip garis keturunan.
Prinsip-prinsip garis keturunan tersebut terutama berpengaruh terhadap penetapan ahli waris dan pembagian harta peninggalan yang diwariskan, yang pada, umumnya bahwa para ahli waris adalah mereka yang hidupnya mempunyai hubungan dekat dengan pewaris.
Berikut uraian tentang hak dan kedudukan para janda dilihat dari mana ia tunduk dan berasal :
a. Kedudukan janda menurut hukum waris adat.
Kedudukan janda dalam hukum waris adat mempunyai kedudukan yang bervariasi, hal ini disebabkan karena hukum adat sebagai hukum asli Indonesia tersebut mengenal beberapa stelsel kekeluargaan yang berbeda satu dengan yang lainnya sehingga menempatkan janda dengan peran yang berbeda-beda pula. Misalnya dalam kehidupan kekerabatan yang berstelsel patrilinial seperti didaerah Batak, Lampung, Bali. Mereka hanya mengenal bahwa anak pria atau keturunan prialah yang berhak menjadi ahli waris. Sehingga janda dalam sistem kebapakan ini bukan merupakan ahli waris dari suaminya tetapi merupakan penghubung atau jembatan pewarisan dari ayah kepada anak-anaknya yang lelaki. Begitu juga seorang suami bukan waris isterinya yang wafat, kerena menurut sistem kekerabatan ini istri adalah milik Suami, apalagi harta bawaan dan pencariannya yang selama perkawinan merupakan satu kesatuan yang terpisah dan tidak terbagi-bagi kedudukannya. Sehingga terlepas dari apakah janda mempunyai keturunan dengan suaminya yang telah wafat ataukah tidak mempunyai keturunan sama saja. Pada masyarakat adat Batak sebagai tipe yang paling ekstrim menganut sistem patrilineal yang mutlak bersifat genealogis. Dimana sistem kekerabatannya mutlak menurut garis bapak atau laki-laki. Pada sistem ini lelaki merupakan tulang punggungnya masyarakat adat Batak. Jadi semua ikatan dan nilai-nilai kegiatan saling dihubungkan menurut garis lelaki keturunan darah. Janda di masyarakat adat Batak, Lampung dan Bali bentuk perkawinannya memakai jujur, setelah suaminya meninggal dunia isteri (janda) tetap berkedudukan ditempat kerabat suaminya. Janda berhak menikmati harta kekayaan yang ditinggal suaminya, walaupun .janda bukan ahli waris dari suaminya. Kedudukan janda baik yang mempunyai keturunan dengan suaminya maupun yang tidak mempunyai keturunan sama saja, ia tidak boleh kembali lagi pada kerabat asalnya dan janda tidak bebas melakukan sikap tindakannya, oleh karena segala sesuatunya harus mendapat persetujuan dari pihak kerabat suaminya.
Dari hasil penelitian yang dilakukan Mahkamah Agung terhadap warisan diwilayah Pengadilan tinggi Medan khususnya didaerah Batak Toba yaitu ;" Seorang janda mempunyai hak untuk menikmati seluruh harta pencarian dan harta-harta lain yang dibawa oleh suami isteri itu kedalam perkawinan, selama janda itu tidak kawin lagi dan masih tetap tinggal dengan keluarga suaminya...". Hal ini berlaku baik janda yang mempunyai anak ataupun tidak.
Menurut pendapat M. Yahya menyatakan bahwa ;" janda bukan ahli waris. Oleh karena itu, dia tidak mempunyai hak dan kedudukan untuk mewaris harta peninggalan suami maupun harta peninggalan bapaknya. Meskipun hukum memberikan harta peninggalan kepada anak Perempuan atau janda, mereka berstatus bukan ahli waris :
- Janda dengan atau tanpa anak lelaki, tidak dapat mewaris;
- Janda dengan anak perempuan hanya diberi hak mengelola; dan
- dalam stelsel patrilineal tidak dikenal harta bersama.

Di daerah Lampung, janda yang tidak mempunyai keturunan ia dapat memilih untuk kawin lagi dengan salah seorang saudara lelaki dari suami yang telah wafat atau anggota kerabat suami yang lain atau disebut kawin semalang dan memungkinkan janda kawin dengan orang luar daerah atas berkenan kerabat suami dan suaminya yang kedua itu harus menggantikan kedudukan suaminya yang wafat tadi. Dan apabila janda tidak kawin lagi, maka janda tetap berkedudukan dipihak kerabat suami dan berhak menikmati harta warisan almarhum suaminya sampai akhir hayatnya.
Menurut Wirjono bahwa," ....di Lampung, janda perempuan tetap merupakan bagian dari keluarga suami, dan dengan demikian pada umumnya janda perempuan tidak akan terlantar dan akan tetap menikmati barang-barang yang ditinggal suaminya yang wafat itu".
Sedangkan di daerah Bali, Sistem keturunannya adalah patrilineal yang dipengaruhi oleh hukum agama Hindu karena penduduk tersebut sebagian besar menganut agama Hindu. Oleh sebab itu sumber-sumber hukum waris adat di daerah Bali dipengaruhi oleh hukum agama Hindu.
Dalam sistem kekeluargaan patrilineal masyarakat adat Bali yang disebut ahli waris terhadap harta peninggalan orang tuanya adalah anak kandung laki-laki, atau anak perempuan sentana rajeg yang berstatus anak laki-laki dan anak angkat laki-laki.
Masyarakat adat Bali, seorang janda almarhum suaminya. Menurut hukum adat waris Bali, janda hanya berhak menikmati atas harta peninggalan almarhum suaminya dengan syarat harus tetap setia melaksanakan dharma baktinya seorang janda dengan tidak berkelakuan tercela, tidak kawin lagi dan tidak melakukan perzinahan dengan orang lain.
Ketentuan dalam pasuara Tahun 1990 pasal 2 menyatakan bahwa, seorang suami meninggal dunia dengan meninggalkan harta sedangkan anak belum dewasa dan seorang janda, maka harta tersebut pertama harus dikuasakan kepada jandanya. Pengurusan harta warisan tersebut oleh sijanda adalah selama anak-anak belum dewasa dan belum mampu menurut hukum adat bali. Dalam hal seorang janda menguasai harta peninggalan harus diawasi keluarga atau kerabat suaminya terdekat untuk menjaga jangan sampai harta peninggalan tersebut disalah gunakan, karena harta peninggalan akan digunakan untuk anak-anaknya apabila telah dewasa. Selanjutnya apabila anak-anak sudah dewasa maka sijanda akan dipelihara oleh anak-anak tersebut sampai akhir hayatnya
Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa janda bukanlah ahli waris dari almarhum suaminya, baik didalam masyarakat Batak, Lampung dan Bali.
Pada masyarakat parental/bilateral yang menganut sistem kekeluargaan menurut garis keturunan ayah dan ibu, dimana kedudukan laki-laki dan perempuan adalah sama, seperti yang terdapat didaerah Jawa, Aceh dan Kalimantan. Menurut Hazairin menggambarkan sistem keturunan bilateral sebagai berikut, "Orang Jawa mempunyai masyarakat yang sistem kekeluargaannya menurut cara bilateral, yaitu setiap orang berhak menarik garis keturunan keatas baik melalui ayahnya maupun melalui ibunya, demikian pula dilakukan oleh ayahnya itu dan ibunya dan terus begitu selanjutnya. Maka tiap orang jawa mempunyai keturunan bukan saja melalui anaknya yang laki-laki dan anaknya yang perempuan, tetapi juga selanjutnya mempunyai keturunan yang lahir dari cucunya yang perempuan dan dari cucunya yang laki-laki, tidak peduli apakah cucunya itu lahir dari anaknya yang perempuan ataukah yang laki-laki
Pada asasnya menurut hukum adat Jawa, janda dan duda bukanlah ahli waris dari suami dan isteri yang meninggal, akan tetapi mereka berhak mendapat bagian dari harta peninggalan suami atau isteri bersama-sama dengan waris lain atau menahan pembagian harta peninggalan itu bagi biaya hidup seterusnya. Jika dari perkawinan mereka terdapat keturunan maka janda atau duda berhak menguasai dan menikmati, mengatur dan membagi warisan kepada waris.
Berdasarkan jurisprudensi mengenai kedudukan janda dalam pewarisan harta peninggalan almarhum suaminya sebelum kemerdekaan Negara Republik Indonesia, banyak yang berpendapat bahwa janda bukan ahli waris, akan tetapi setelah kemerdekaan cenderung berpendapat bahwa janda adalah waris almarhum suaminya.
Pendapat Subekti menyatakan, menurut doktrin dahulu seorang janda dalam hukum adat adalah bukan ahli waris tetapi berhak untuk dijamin kehidupannya dari warisan sisuami, dan sekarang berdasarkan perkembangan jurisprudensi ditetapkan dan diberi predikat seorang janda adalah ahli waris. Tendensi untuk menjadikan janda adalah ahli waris dimulai dari keputusan Mahkamah Agung tanggal 15 Nopember 1957 No.130 K/Sip/1957 tentang permohonan anak-anak almarhum dokter R.M.Soeratman di Bandung, dimana Mahkamah Agung menghilangkan kesan seolah-olah janda tidak berhak atas warisan suaminya, dan dalam putusan deklaratoir itu disebut bahwa anak-anak dan ibunya ( janda) adalah sama-sama berhak atas warisan dari almarhum dr.Soeratman tersebut.
Didaerah Jawa Tengah dan Jawa Barat sebagai kawasan yang mewakili sistem kekeluargaan parental, menurut penelitian Soepomo bahwa, "sistem kekeluargaan parental dihubungkan dengan masalah kewarisan telah membentuk kewarisan bilateral acuannya adalah :
- Bagi laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya atau bagi anak laki-laki ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya;

- Bagi laki-laki ada bagian harta warisan dari peninggalan keluarga dekatnya;

- Bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya atau bagi anak wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan ibu bapaknya; dan

- Bagi wanita ada bagian warisan dari harta peninggalan keluarga dekatnya.

Sistem pewarisan tersebut diatas terdapat dalam masyarakat Jawa Tengah dan Jawa Barat, wanita atau anak wanita berkedudukan sebagai ahli waris terhadap harta ibu bapaknya maupun terhadap keluarga dekatya. Hal ini sama dengan kedudukan anak laki-laki. Dari sistem kewarisan bilateral yang menempatkan kedudukan yang sama antara lelaki dan wanita maka memberi kedudukan yang sarna timbal balik antara suami-isteri untuk saling mewaris dalam kedudukan mereka sebagai janda atau Duda.
Hak janda atau duda tidak meliputi harta gawan suami-isteri, jika suami wafat meninggalkan harta gawan maka isteri sebagai janda tidak berhak untuk mewarisnya. Hal ini dibedakan menjadi dua yaitu :
a. Jika suami meninggalkan anak, harta gawan jatuh kepada anak-anaknya; dan

b. Jika tidak meninggalkan anak, harta gawan kembali pada asal yaitu jatuh menjadi harta warisan ahli waris suami dengan penerapan sebagai berikut :
- jika bapak ibu dari suami masih hidup, harta gawan kembali kepadanya; dan
- jika bapak ibu dari suami sudah meninggal dunia, harta gawan kembali menjadi harta warisan saudara kandung suaminya.

Selanjutnya kedudukan dan hak janda dalam sistem kewarisan parental yang terdapat di masyarakat Jawa, Sunda dan Betawi hanya, sepanjang mengenai harta gono-gini, kedudukan janda atau duda saling mewaris dalam stelsel kekeluargaan parental, sifatnya terbatas, hanya sepanjang mengenai harta kekayaannya yang diperoleh selama perkawinannya. Tidak meliputi harta pribadi masing-masing suami isteri. Harta yang diperoleh suami isteri sebelum perkawinan atau yang diperoleh sebagai harta warisan atau hibah baik sebelum ataupun sesudah perkawinannya, dianggap harta gawan. Harta tersebut tidak termasuk objek harta warisan janda atau duda.
Berkaitan dengan hak janda untuk mewaris terhadap harta bersama (gono-gini) yang ditinggal suaminya, hukum waris adat menentukan demikian
a. Janda tidak punya anak ( tidak ada anak yang dilahirkan dari perkawinan);

- harta gawan kembali ke asal, janda tidak berhak mewaris;
- harta gono-gini dikuasai seluruhnya oleh janda selama masih hidup atau selama janda tersebut tidak kawin lagi. Dan tidak menjadi soal apakah harta gono-gini itu kecil atau besar jumlahnya. Harta gono-gini akan menjadi hak mutlak janda untuk menguasai selama janda masih hidup atau belum kawin lagi. Baru terbuka hak ahli waris suami untuk mewarisi apabila janda yang meninggalkan atau kawin lagi.;

1. harta gawan kembali keasal;
2. harta gono-gini di bagi dua :
- ½ bagian menjadi hak mutlak janda, dan jatuh menjadi harta warisan saudara janda apabila dia wafat;
- ½ bagian yang menjadi hak mendiang suami suami jatuh menjadi harta warisan para ahli waris mendiang suami.

b. Janda mempunyai anak ( anak yang dilahirkan dari perkawinan dengan mendiang suami) ;
- harta gawan menjadi hak warisan dari anak-anaknya;
- harta gono-gini :
1. Harta gono-gini tetap utuh dalam kekuasaan janda selama dia rnasih hidup atau belum kawin lagi. dan baru dibagi setelah ia meninggal dunia; dan

2. Harta gono-gini tetap utuh dikuasai janda sampai semua anak-anak dewasa. Dan apabila anak-anak sudah dewasa, baru harta gono-gini dibagikan.

3. Harta gono-gini langsung dibagi :
- ½ bagian menjadi hak janda;
- ½ bagian menjadi hak mendiang suami dan menjadi harta warisan bagi seluruh anak dan janda dengan pembagian yang sama.

Pada masyarakat matrilineal yang sistem pewarisannya ditarik dari garis perempuan atau ibu, seperti pada masyarakat Minangkabau yang bentuk perkawinannya adalah samanda bahwa seorang duda tidak mewaris harta peninggalan dari almarhum isterinya. Apabila duda tersebut tidak kawin lagi dengan saudara kandung mendiang isterinya dulu, maka anak¬ anak dan harta warisan tinggal ditempat isteri diurus oleh kepala waris, dan apabila duda tidak mempunyai anak dan pergi meninggalkan tempat kedudukan isterinya semula maka ia hanya diperkenankan membawa bagian harta pencarian saja.
Untuk menentukan siapa yang menjadi ahli waris, tergantung pada jenis harta yang diwariskan atau diterima oleh ahli waris. Pada rnasyarakat adat Minangkabau biasanya diadakan perbedaan antara harta pusaka dengan harta pencarian. Harta pusaka di Minangkabau, biasanya harta kekayaan tersebut merupakan harta peninggalan turun temurun dari zaman leluhur dan merupakan milik bersama sekerabat dan berada dibawah kekuasaan serta pengawasan tua-tua adat ( penghulu, mamak kepala waris). Harta pusaka tersebut merupakan harta pusaka tinggi yang tidak terbagi-bagi oleh pemiliknya tetapi hanya terbagi hak pakainya saja. Harta pusaka tinggi berupa sawah, tanah perladangan dan bangunan rumah adat atau rumah gadang. Kesemuannya itu adalah milik kaum ibu yang menjadi pusat penguasaannya. Harta pusaka ini disamping tidak boleh dibagi-bagi, juga tidak boleh dijual kecuali dalam keadaan terpaksa hanya boleh digadaikan.
Disamping itu ada harta pusaka rendah yang artinya semua harta peninggalan dari satu atau dua angkatan kerabat. Harta pusaka ini merupakan harta bersama kerabat yang tidak terbagi-bagi pemilikannya dan akan terus dapat bertambah dengan masuknya harta pencaharian dari para ahli warisnya.
Menurut Landraad Bankinang tanggal 9 Oktober 1935 yang diperkuat Raad van Justitie Padang tanggal 23 April 1936 menyertakan ketentuan adat di Minangkabau maka harta yang diperoleh semasa perkawinan disebut harta persaurangan atau harta pencarian dan isteri berhak atas sebagian dari harta pencarian itu, dengan ketentuan bahwa pembagian hanya dapat dilakukan apabila perkawinan tersebut berakhir atau adanya perceraian, pada pembagian suami isteri masing-masing memperoleh bagian yang sama dari harta tersebut setelah dibayar terlebih dahulu hutang-hutangnya.
Di daerah Lampung banyak yang melaksanakan perkawinan Semanda misalnya di daerah lampung peminggiran, janda sebagai penguasa dan pemilik harta bukan ahli waris suaminya. Oleh karena harta pencarian bersama suaminya pada dasarnya dikuasai oleh isteri. Dan apabila isteri yang meninggal dunia dan suami pergi dari tempat isterinya maka ia hanya berhak atas sebagian dari harta pencaharian, jika janda tidak mempunyai keturunan anak. Akan tetapi jika ada keturunan anak maka harta tersebut diberikan kepada anaknya semua.
Sebenarnya dalam stelsel kekeluargaan matrilineal mengandung prinsif tidak mengenal adanya harta bersama. Baru pada tahun 1963 berdasarkan Putusan Mahkamah Agung (MA) Nomor 290/Sip/1963 telah ditetapkan bentuk harta bersama dikalangan masyarakat Minangkabau. Dalam Putusan Mahkamah Agung tersebut dipertimbangkan bahwa menurut hukum adat Minangkabau dalam perkembangannya dewasa ini seorang suami dapat menghibahkan harta pencariannya kepada isterinya.
Kedudukan janda menurut ketentuan hukum adat pada saat ini telah mengalami penggeseran dan perubahan. Proses perubahan masyarakat telah berperan menjadi katalisator terhadap nilai-nilai hukum asli kearah yang lebih rasional, aktual dan manusiawi. Dikatakan demikian karena dalam perkembangannya sudah banyak masyarakat pedesaan yang menuntut ilmu keluar daerah sehingga pola pikir mereka semakin maju yang menuntut persamaan hak antara pria dan wanita, sehingga mereka lebih menghargai hak dan kedudukan wanita apalagi wanita tersebut sebagai isteri dan sebagai ibu yang banyak berjasa dalam kehidupan berumah tangga. Kemudian ada pula yang sudah merantau dan keluar dari klan/rumpun kekerabatannya dan mempunyai kehidupan sendiri ( keluarga sendiri ) lepas dari kekerabatan, sehingga satu sama lain diantara keluarga dan anak-anaknya) cenderung memikirkan kebahagiaan keluarga sendiri. Dengan demikian mereka tidak lagi selalu terikat dengan (isteri-suami kerabat dan segala aturan kerabat, rasa kekerabatan sudah mengecil, karena tempat kediaman anggota kerabat sudah terpencar-pencar jauh dan tidak terikat lagi untuk bertempat kediaman didaerah asal. Dengan perkembangan pola pikir dan ditambah dengan pembauran dengan masyarakat adat lain maka perkembangan hukum waris adat sekarang cenderung pada kearah yang lebih netral yaitu mendekati asas persamaan hak antara pria dan wanita, sehingga sistem yang tadinya keras dan kokoh terhadap aturan adatnya menjadi lebih toleran dan manusiawi terutama menjadi semakin menghargai hak dan kedudukan janda terhadap harta peninggalan suaminya.

b. Kedudukan janda menurut Jurisprudensi.
Jurisprudensi merupakan salah satu sumber hukum di negara kita, dari jurisprudensi diharapkan datangnya sumbangan hukum untuk memenuhi kebutuhan hukum bagi masyarakat dan negara. Oleh karena itu, putusan-putusan hakim mempunyai peran yang amat penting bagi kehidupan hukum Negara kita. Melalui Jurisprudensi hakim dapat menciptakan hukum baru mensejajari perubahan dan pertumbuhan sosial Jurisprudensi tidaklah mengikat.

Berkaitan dengan kedudukan dan hak janda sebagai ahli waris atau bukan ahli waris menurut hukum waris adat, maka ada baiknya apabila meninjau dari segi pendekatan putusan-putusan pengadilan terutama berdasarkan putusan-putusan Mahkamah Agung yang dianggap sebagai jurisprudensi.
Dalam kehidupan masyarakat, peranan jurisprudensi sangat penting dalam pembaharuan hukum suatu bangsa melalui judge made law, dari tindakan judge made law baru lahirnya jurisprudensi. Sedangkan jurisprudensi tujuannya untuk menetapkan standar hukum yang sama mengenai kasus yang sama.
Ada beberapa putusan Mahkamah Agung yang menetapkan kedudukan janda sebagai ahli waris :
1. Putusan Mahkamah Agung tanggal 25 Februari 1958 nomor 387 K/Sip11958, yang menetapkan bahwa " menurut hukum adat yang berlaku di Jawa Tengah, seorang janda mendapat separoh dari harta gono-gini".
2. Putusan Mahkamah Agung tanggal 29 Oktober 1958 K/Sip/1958, yang menetapkan bahwa " Menurut hukum adat yang berlaku di Pulau Jawa, apabila dalam suatu perkawinan tidak dilahirkan seorang anakpun, maka isteri /janda dapat menguasai barang-barang gono-gini sampai ia meninggal atau sampai ia kawin lagi".
Dari putusan Mahkamah Agung ini dapat kita lihat bahwa .janda tanpa anak untuk dapat menguasai harta gono-gini hanya digantungkan pada satu syarat yaitu selama tidak kawin lagi dan tidaklah relevan soal cukup atau tidak untuk menjamin kehidupannya.
3. Kemudian Putusan yang mesnetapkan kedudukan janda sebagai ahli waris terhadap almarhum suaminya, yaitu putusan Mahkamah Agung tanggal 20 April 1960 nomor 110 K/Sip/1960, yang menetapkan bahwa " menurut hukum adat, seorang janda adalah juga menjadi ahli waris dari almarhum suaminya".
4. Keputusan yang menyangkut kedudukan janda terhadap barang asal suaminya terdapat dalam Keputusan Mahkamah Agung tanggal 26 Oktober 1960 nomor 307 K/Sip/1950 yang menetapkan bahwa "barang asal dapat dikuasai oleh janda untuk kepentingan hidupnya dan para ahli waris dari sipeninggal warisan dapat memperoleh warisan itu apabila sijanda kawin lagi atau meninggal dunia".
Jika dibanding dengan dua putusan diatas terdapat perbedaan yakni bahwa kedudukan janda terhadap barang gono-gini seperti yang telah disebut dalam dua putusan diatas tidak ada syarat "untuk keperluan hidupnya", sedangkan mengenai kedudukan janda terhadap barang asal seperti dalam putusan ini diperlukan syarat tersebut, namun kedua-duanya mengenai janda tanpa anak.
5. Putusan Mahkamah Agung nomor 320/K/Sip/1960, merupakan putusan yang telah merubah nilai-nilai hukum adat, karena dalam putusan ini telah ditetapkan bahwa "hukum adat diseluruh Indonesia memberi hak dan kedudukan kepada janda untuk mewarisi harta asal suami...." Dengan demikian putusan diatas telah mencoba untuk menarik nilai-nilai hukum adat kearah hukum yang bersifat nasional. Hal ini nampak pada pernyataan "Hukum adat di seluruh Indonesia", selain itu putusan tersebut diatas menunjukan bahwa janda merupakan ahli waris terhadap harta asal suami yang bersifat mutlak. Namun demikian pada tahun 1986 MA merubah pendirian dengan putusan Nomor 3293 K/Pdt/1986 telah rnenentukan bahwa janda berhak menguasai dan menikmati harta bersama (gono-gini) dalam menjamin hidupnya sampai ia meninggal dunia atau kawin lagi. Sedang harta bawaan diwarisi oleh anak kandungnya. Putusan ini menandakan adanya penurunan derajat kewarisan janda dibanding dengan putusan MA yang terdahulu (1960), sebab putusan tersebut hanya memberi hak menikmati harta bersama saja tetapi tidak mewarisi harta bawaan suami. Penegasan lain yang diputuskan MA yaitu " bahwa janda mewarisi harta bersifat mutlak dan kedudukannya digolongkan sebagai ahli waris kelompok keutamaan pertama yakni disamakan dengan kedudukan anak.. " ketentuan ini tersimpul dalam Putusan MA No.3190 K/Pdt/1985.
6. Putusan MA tentang penguasaan harta gono-gini oleh janda, besarnya bagian janda dan hak janda dalam bentuk perkawinan poligami. Ada suatu putusan MA yang menentukan bahwa penguasaan harta gono-gini oleh janda adalah tidak mutlak. Ketentuan ini tertuang dalam putusan MA No.441 K/Sip/ 1972, yang berbunyi " Penguasaan harta gono-gini selama hidup tidak mutlak, dapat dikesampingkan atas persetujuan bersama antara janda dan ahli waris.." Dengan demikian untuk mengesampingkan kemutlakan hak menguasai dan menikmati seluruh harta gono-gini adalah berdasarkan 'kesepakatan' antara janda dan ahli waris. Apabila tidak tercapai kesepakatan diantara mereka, maka para ahli waris dapat mengajukan gugatan ke pengadilan dengan tuntutan pembagian harta bersama atau bawaan yang dikuasai oleh janda. Terhadap gugatan tersebut, MA pernah mengabulkan pembagian harta yang dikuasai oleh janda melalui putusannya No.2565 K/Pdt/1987. Tuntutan pembagian harta gono-gini hanya dapat dilakukan oleh anak, janda atau duda ( MA. No.285 K/Sip/1959). MA juga pernah menegaskan dalam putusan No.187 K/Sip/1959, "bahwa selama janda belum kawin, harta gono-gini tidak dapat dibagi.." Selanjutnya apabila janda melakukan perkawinan untuk kedua kalinya, maka akan mengugurkan hak mewaris. Penegasan ini tertuang dalam Putusan MA Nomor 358 K/Sip/1971 yang berbunyi " Hilang hak janda sebagai ahli waris apabila ia kawin lagi tanpa persetujuan kerabat suami.." mengenai bagian janda, Mahkamah Agung pernah menegaskan dalam putusannya No.l40K/Sip/1961 yaitu, "besarnya bagian janda sama dengan bagian seorang anak kandung atas harta peninggalan suami..". Pada tahun 1957 MA telah memutuskan dengan putusan yang serupa yaitu," dalam hal seorang meninggal dunia dengan meninggalkan tiga orang anak, keempatnya berhak atas harta peninggalan suami.." (MA. No. 13 K/Sip/1957 jo.MA No.681 K/Sip/1975). Mengenai harta bersama dalam perkawinan poligami juga mendapat perhatian dari Mahkamah Agung yaitu dari putusan yang pertama pada tahun 1958 MA menegaskan, "bilamana seorang lelaki kawin lagi dengan lebih dari seorang isteri, sedangkan lebih dari satu gono-gini, maka gono-gini itu dipisahkan..". Kemudian Putusan MA No.901 K/Sip/1974 juga menegaskan " isteri kedua dan ketiga serta anak-anak mereka tidak berhak mewarisi harta bersama almarhum suami dengan isteri pertama..". Sampai pada tahun 1985, MA masih tetap pada pendirian yang sama dengan putusan yang terdahulu, hal ini terbukti dengan Putusan No.741 K/Sip/1985 dengan pertimbangan sebagai berikut, " apa yang digugat adalah harta gono¬-gini almarhum suami dengan isteri pertama. Menurut hukum adat penggugat sebagai isteri kedua tidak mempunyai hak atas harta gono-¬gini suami dengan isteri pertama, karena harta itu adalah hak isteri pertama dengan anak-anaknya". Apabila ditimbulkan pada putusan MA yang terakhir ini bahwa disatu sisi janda sebagai ahli waris suami tetapi dalam perkawinan poligami isteri kedua sebagai janda tidak mewaris harta gono-gini suami.
7. Putusan MA yang mengatur tentang pemulihan hak seorang janda, yakni Putusan MA No.622 K/Sip/1973 yang menyatakan bahwa apabila janda dan anak-anak mereka berkedudukan sebagai ahli waris mutlak terhadap suami atas harta gono-gini dan harta gawan, maka selama belum dilakukan pembagian kewenangan janda untuk menjual atau menghibahkan harus ada persetujuan dari anak-anak yang sudah dewasa, tidak dibenarkan untuk dihibahkan. akan tetapi dibenarkan untuk dijual, asal persetujuan tersebut untuk kepentingan kehidupan anak-anak yang belum dewasa (MA.No.622 K/Sip/1973). Jika terhadap harta sudah dilaksanakan pembagian, janda berhak dan berwenang untuk menjual atau menghibahkan harta yang menjadi bagiannya tanpa persetujuan siapapun. Selanjutnya apabila janda hanya mempunyai hak untuk menikmati terhadap hata gono-gini, maka ia tidak berhak untuk menghibahkan harta tersebut apalagi mengalihkan harta asal suami. Seorang janda, melalui Putusan MA juga diberi kewenangan untuk menuntut harta gono-gini dan harta asal suami dari penguasaan orang lain. Ketentuan ini dapat dilihat dalam putusan MA No.54 K/Sip/1958 yang berbunyi :" menurut hukum adat (batak), janda mempunyai hak pakai atas harta almarhum suami selama hidup. Atas dasar hak pakai tersebut janda berhak menuntut barang suami yang dipakai orang lain". Putusan ini merupakan langkah awal pergeseran hukum adat yang bercorak kebapakan kearah yang bersifat bilateral.
Standar hukum yang diciptakan jurisprudensi dalam masalah ini berupa pegeseran nilai yang semula bersifat pluralistik berdasarkan keanekaragaman suku bangsa, seperti yang dikemukakan Van Vallenhoven menyatakan bahwa, " pergeseran nilai kearah yang bersifat netral sesuai dengan tuntutan modernisasi, emansipasi, dan harkat derajat manusia". Hal ini berarti hak dan kedudukan .janda diangkat dan ditempatkan sesuai dengan jasa dan pengabdiannya sebagai seorang isteri dan sebagai ibu bagi anak-anaknya. Dengan demikian yurisprudensi telah menciptakan nilai hukum adat yang sama tentang kedudukan janda sebagai ahli waris bagi seluruh Indonesia. Sehingga terwujudnya hukum adat yang berwawasan nasional. Jadi nilai-nilai yang bersifat pluralistik dengan adanya perkembangan yang netral, seperti yang terlihat pada Putusan Mahkamah Agung Nomor 320/K/Sip/1960 dan Putusan Nomor 3190/K/Pdt/1985. Kedua keputusan Mahkamah Agung tersebut mengandung pergeseran nilai-nilai hukum adat asli diseluruh Indonesia yang memberi hak dan kedudukan kepada janda untuk mewarisi harta asal suaminya. Dengan adanya putusan-putusan tersebut mencoba menetapkan standar hukum yaitu ;
1. hukum adat seluruh Indonesia memberi hak dan kedudukan yang sama antara anak laki-laki dan anak wanita mewarisi harta peninggalan orang tuanya dengan pembagian yang sama; dan

2. hukum adat diseluruh Indonesia memberi hak dan kedudukan kepada janda untuk mewarisi harta gono-gini dan harta asal suami.
Dengan demikian jelas bahwa pengangkatan nilai-nilai yang netral yang berwawasan nasional yang berdasarkan pada pergeseran kesadaran yang dibawa nilai-nilai semangat modern, emansipasi, peradaban dan kemanusiaan. Dan sudah barang tentu tidak lepas dari pengaruh nilai-nilai agama yang dianut. Putusan-putusan mahkamah agung seperti yang telah disebutkan lebih jauh mengarah kepada sistem kewarisan bilateral yang berusaha menyimakan kedudukan antara laki¬-laki dan perempuan serta menempatkan janda pada kedudukan yang adil bagi semua pihak.

B. HAK DAN KEDUDUKAN ANAK TERHADAP HARTA PENINGGALAN ORANG TUANYA. .
Seorang anak adalah penerus keturunan dan juga sebagai ahli waris dari harta peninggal orang tuanya. Kedudukan seorang anak sebagai waris dipengaruhi oleh perkawinan orang tuanya, terutama terhadap anak kandung. Jika perkawinan ayah ibunya adalah sah, maka anaknya juga sah sebagai waris, sebaliknya .jika perkawinan ayah-ibunya tidak sah, atau anak lahir diluar perkawinan, maka anak menjadi tidak sah sebagai waris dari orang tua kandungnya. Namun demikian dibeberapa daerah terdapat perbedaan hak waris adat yang berlaku mengenai kedudukan anak sebagai waris dari orang tuanya. Disamping itu terdapat pula perbedaan antara anak lelaki dan anak perempuan dalam pewarisan. Tetapi betapapun perbedaannya namun pada umumnya di Indonesia ini menganut asas kekeluarga dan kerukunan dalam pewarisan.

1. Hak dan kedudukan anak dalam hukum waris adat dayak
Pada masyarakat suku dayak yang termasuk dalam sistem kekeluargaan parental. Menurut sistem ini kedudukan anak laki-laki dan perempuan sebagai waris adalah sama dan sama-sama berhak atas warisan orang tuanya. Namun demikian tidak berarti bahwa jenis atau jumlah harta warisan dibagi sama rata diantara semua waris, oleh karena harta warisan itu tidak merupakan kesatuan yang dapat dengan begitu saja dinilai harganya dengan nominal tertentu, begitu pula bagaimana pembagian itu kelak akan dilaksanakan tergantung pada keadaan harta dan warisnya.
Dalam masyarakat dayak, meskipun termasuk dalam garis keturunan parental, tetapi yang merupakan ahli waris adalah anak perempuan yang tertua yang berkedudukan sebagai tunggu tubing/anak pangkalan karena tugas dan tanggung jawabnya mengurus, memelihara dan menjamin kehidupan orang tuanya sampai wafat. Dalam adat dayak, anak perempuan yang tertua berkewajiban mempertahankan bagian-bagian pokok dari harta warisan sebagai kebulatan yang tidak terbagi-bagi untuk kepentingan semua anggota keluarga pewaris. Hal tersebut bukan berarti ada perbedaan kedudukan antara anak laki-laki dan perempuan, tetapi lebih merupakan menjaga kelestarian warisan dan dapat mengatur pemanfaatannya.
Demikian pula bila mereka merupakan keturunan dari orang tua yang berpoligami ( hajambua ), maka anak perempuan tertua dari isteri pertamalah yang dipercaya memelihara dan mewarisi harta peninggalan orang tuanya. Namun mereka tetap tinggal bersama dan memanfaatkan serta menikmati bersama, kecuali jika ada yang sudah berkeluarga dan memutuskan keluar dari rumah orang tuanya maka mereka dianggap sudah mampu untuk berdikari.
Dalam hal ini tidak ada perbedaan hak dan kedudukan anak-anak dari isteri pertama dan anak-anak dari isteri kedua, karena harta peninggalan orang tua mereka anggap milik bersama. Yang membedakan hanya mereka sebagai anak tertua .juga dituakan, artinya lebih dihormati dan harus dapat menjadi panutan bagi anak-anak yang lain.
Namun dalam perkembangannya kedudukan anak sulung terutama yang perempuan sebagai tunggu tubing juga mulai goyah karena kemajuan pendidikan, pergi merantau keluar daerah, apalagi jika mereka telah melakukan perkawinan campuran dan tidak kembali lagi ke kampung halamannya.
Lain halnya dengan anak angkat, menurut adat suku dayak kedudukan seorang anak angkat sama seperti kedudukan anak kandung juga berhak juga atas harta peninggalan orang tuanya sama seperti anak kandung. Karena menurut suku dayak yang dikatakan anak angkat itu adalah apabila anak tersebut telah dipelihara sejak masih kecil, dan upacara pengangkatannya dilakukan dengan memotong hewan kurban (boleh babi/sapi/ayam) kemudian anak tersebut dipalas dengan darah hewan kurban tersebut dengan disaksikan oleh kepala/demang adat. Ritual itulah yang mereka anggap mensyahkan anak itu sebagai ahli waris yang sah juga seperti anak kandung, sehingga hak dan kedudukannyapun disamakan seperti anak kandung termasuk dalam hal mewaris harta peninggalan orang tua angkatnya. Hubungan hukum dengan orang tua kandungnya terputus karena dengan pengangkatan secara adat ( dengan segala ritual adatnya ) oleh kepada adat, menjadikan anak tersebut murni hanya mempunyai hubungan perdata dengan bapak dan ibu angkatnya saja, meskipun bila dia sudah besar kelak akan diberitahu siapa orang tua kandungnya, tetapi ia tidak ada hak mewaris harta peninggalan orang tua kandungnya.

2. Hak dan kedudukan anak menurut hukum waris adat.
Dalam hukum adat pada umumnya anak kandung merupakan ahli waris yang terpenting, karena pada hakekatnya anak-anak pewaris itulah yang merupakan ahli waris. Anak kandung disini tidak dibedakan apakah laki-laki atau perempuan. Dengan kata lain baik anak laki-laki maupun perempuan berhak mewarisi dengan barang yang sama dari harta warisan, tetapi aturan hukum adat ini sangat dipengaruhi oleh susunan keluarga, apakah matrilineal, patrilineal atau parental/bilateral.
Pada masyarakat matrilineal, yang berhak mewaris adalah semua anak-anak dari ibu, contohnya di daerah minangkabau, apabila seorang suami meninggal dunia maka anak-anaknya bukan merupakan ahli waris. Anak-anak kandung hanya merupakan warga anggota famili ibunya, sedangkan ayahnya tidak. Ayah tetap merupakan warga dari familinya sendiri, sehingga harta warisannya diwaris oleh saudara -saudara sekandungnya. Hal ini disebabkan perkawinan dalam masyarakat matrilineal adalah perkawinan yang laki-lakinya didatangkan atau dijemput oleh wanita, namun laki-laki tidak menjadi satu klan dengan isterinya melainkan tetap menjadi klan ibunya (perkawinan exogam semendo)
Kedudukan anak angkat dalam masyarakat matrilineal ini bukan ahli waris dari ibu atau mamak yang mengangkatnya, kecuali anak angkat itu berkedudukan sebagai pengganti untuk meneruskan keturunan, dalam hal seperti ini anak angkat akan mendapat pemberian dari harta warisan karena jasa-jasa dan budi baik mereka terhadap orang tua angkatnya.
Sebaliknya pada masyarakat Patrilineal, yang berhak mewaris adalah anak laki-laki. Karena anak perempuan yang sudah menikah dilepas dari keluarganya sendiri dan masuk kedalam keluarga suaminya. Namun belakangan ini sering dilakukan praktek hibah kepada anak perempuan. Jadi dalam masyarakat patrilineal yang berhak mewaris adalah anak laki-laki sedangkan anak perempuan hanya mendapat hibah saja.
Dalam perkembangannya seperti yang terjadi dalam masyarakat Batak karo, anak perempuan diberi hak dan kedudukan untuk mewaris harta peninggalan orang tuanya sama dengan anak laki¬laki, hal ini berdasarkan Putusan MA. No.179K/Sip/1961 dengan pertimbangan perikemanusiaan dan keadilan serta hakikat persamaan hak antara pria dan wanita.
Kedudukan anak angkat dalam masyarakat patrilineal dibedakan menjadi 2 (dua) macam, yaitu anak angkat sebagai penerus keturunanan dan anak yang diangkat untuk masuk kedalam suatu adat (anak angkat adat) Yang diangkat sebagai penerus keturunan berhak mewaris dari bapak angkatnya, sedangkan anak yang diangkat untuk masuk kedalam suatu adat bukan ahli waris dari bapak yang mengangkatnya, melainkan tetap menjadi ahli waris dari bapak kandungnya
Pengangkatan anak di Bali harus dilaksanakan dengan upacara adat, agar mereka berhak sebagai ahli waris dari bapak angkatnya. Pada umumnya anak yang diangkat adalah anak laki-laki, walaupun tidak ada larangan untuk mengangkat anak perempuan. Hal ini sesuai dengan Putusan MA No.1461 K/Sip/1974 tanggal 12 Januari 1977 yang menyatakan bahwa syarat mutlak pengangkatan anak menurut adat bali harus disertai upacara " pemerasan " terdiri dari " penyiaran", di Banjar merupakan syarat mutlak
Didalam masyarakat Batak Karo, anak angkat mempunyai hak waris yang sama dengan anak kandung terhadap harta pencarian orang tua yang mengangkatnya, sedangkan terhadap harta pusaka dan kedudukan/jabatan adat anak angkat tidak berhak menjadi ahli waris.
Sedangkan pada masyarakat Bilateral, anak laki-laki dan anak perempuan sama kedudukannya dan sama-sama berhak mewaris dengan bagian yang pada dasarnya sama. Pengertian sama disini tidak berarti jumlah angka melainkan berdasarkan kebutuhan dan kepatutan. kedudukan anak angkat dalam masyarakat bilateral ini terdapat perbedaan pendapat diantara para pakar hukum adat, antara lain :
1) Djojodigoeno dan Tirtawinata yang meneliti di Jawa Tengah pada tahun 1940, menyatakan bahwa anak angkat itu mewaris dari orang tua kandung dan orang tua angkatnya.

2) Ter Haar, Soepomo, Bertling dan Mahkamah Agung Republik Indonesia berpendapat bahwa anak angkat hanya mewaris barang gono-gini dari orang tua angkat, dan tidak mewaris barang asal orang tua angkat jika ada anak kandung.

3) Menurut Soeripto, di daerah Jawa T'imur, anak angkat tidak mewaris barang gono-gini, tetapi hanya mendapat sekedar kasih sayang, baik pewaris mempunyai anak kandung maupun tidak mempunyai anak kandung.

Sudah menjadi hal yang tidak manusiawi lagi bila dijaman sekarang ada perbedaan persepsi yang membedakan hak dan kedudukan anak laki-laki dan anak perempuan. Meskipun ada beberapa dari sistem kekerabatan yang masih membedakan hal tersebut, seperti yang terjadi pada masyarakat patrilineal, yang berhak mewaris adalah anak laki-laki, namun dalam perkembangannya sedikit demi sedikit masyarakat sadar dengan ketentuan yang bersifat ekstrim tersebut akan menimbulkan kecemburuan sosial antar anak dan berujung pada sengketa yang berkepanjangan. Sekarang mereka lebih bijak meskipun tidak mengubah aturan adat namun mereka menyikapi dengan jalan memberikan hibah kepada anak perempuan. Misalnya di tanah Batak, peraturan hak waris kepada anak laki-laki saja, dapat dikoreksi dengan adanya kebiasaan seorang bapak memberikan sawah atau kerbau kepada anak perempuan yang kawin ( saba bangunan, pauseang, indahan arian), di Minangkabau peraturan adat yang berbunyi harta peninggalan seseorang akan diwarisi oleh keturunan dari pihak ibunya, didalam praktek dikoreksi dengan adanya kebiasaan seorang bapak mewariskan sebagian atau seluruh harta pencariannya kepada anak-anaknya. Kemudian bila kita lihat di masyarakat bilateral di Jawa, terdapat kebiasaan orang tua mewariskan sebagian harta benda kepada anak angkat, sehingga anak angkat itu di jamin bagiannya.
Hal tersebut diatas merupakan perkembangan hukum waris adat kearah yang lebih bijaksana sesuai dengan kebutuhan masyarakat, dengan tidak menghapuskan ciri dari aturan-aturan hukum waris adat daerah tersebut.
Dengan demikian hibah merupakan suatu koreksi terhadap aturan-aturan hukum waris adat yang sudah tidak tepat lagi dengan perkembangan dan kemajuan serta tidak menunjukan keadilan dan juga dapat mencegah perselisihan antara anak-anak pewaris karena perbedaan hak dan kedudukan anak didalam suatu keluarga/rumah tangga. Bukankah ciri dari hukum adat adalah sikap kekeluargaan dan semangat gotong royong serta musyawarah mufakat yang mewarnai dalam setiap keputusan, dengan demikian tiap masalah hendaknya disikapi dengan sebijak mungkin. Itulah ciri Hukum adat Indonesia, meskipun ada perbedaan karena keaneka ragamanan bentuk budaya tetapi tetap berada dalam suatu falsafah hidup yang berdasarkan Pancasila, yaitu ada unsur Ketuhanan, rasa kemanusiaan, rasa persatuan yang kuat, bijaksana dalam keputusan dan menuju pada keadilan bagi seluruh masyarakatnya




BAB IV
P E N U T U P

1. Kesimpulan
a). Perkawinan hajambua ( poligami) pada suku Dayak Ngaju menurut Undang-Undang nomor I Tahun 1974 adalah bahwa perkawinan poligami itu hanya dapat terjadi apabila memenuhi syarat-syarat tertentu yang telah ditentukan oleh undang-undang, antara lain seperti yang telah disebutkan dalam pasal 4 ayat 2 Undang-Undang nomor I tahun 1974. Begitu pula halnya dengan perkawinan Hajambua yang masih tunduk pada hukum adat, bahwa perkawinan hajambua (poligami) hanya dapat terjadi apabila ada persetujuan dari isteri pertamanya dan si suami dianggap sanggup untuk memberikan kehidupan yang layak dan adil kepada isteri-isterinya dan sanggup pula memenuhi syarat-syarat adat. Perkawinan hajambua merupakan salah satu cara untuk mempererat kekerabatan antara keluarga dekat.

b). Hak dan kedudukan janda menurut hukum waris adat suku Dayak Ngaju adalah bahwa janda diakui sebagai ahli waris, Namun harta warisan suaminya tidak boleh dikuasai sendiri tetapi dikelola bersama-sama untuk kepentingan bersama ( para janda dan anak-anaknya). Baik isteri pertama Maupun isteri kedua kedudukannya sama sebagai ahli waris atas harta peninggalan suaminya. Namun isteri pertama biasanya lebih dihormati dalam keluarga, seperti keputusan masalah-masalah keluarga terlebih dahulu dimintakan pendapat isteri tertua. Apabila janda tersebut kawin lagi baik dengan kerabat sendiri maupun dengan orang luar suku maka kedudukanya sebagai ahli waris dicabut.

c). Demikian pula dengan hak dan kedudukan anak-anak dalam hukum waris adat suku dayak, baik anak laki-laki maupun anak perempuan sama hak dan kedudukannya terhadap harta peninggalan orang tuanya. Hal tersebut juga berlaku baik terhadap anak-anak dari isteri pertama maupun anak-anak dari isteri kedua. Namun biasanya anak sulung perempuan dipilih sebagai tunggu tubing yang bertanggung jawab mengurus dan memelihara serta menjamin kehidupan orang tuanya sampai wafat.

2. Saran
a). Perkawinan Hajambau yang terdapat pada suku Dayak Ngaju sebaiknya pendapat perhatian khusus karena menyangkut kehidupan perkawinan yang komplek dan sangat rawan perselisihan, karena satu rumah tangga dengan dua isteri tidak akan dapat selalu harmonis dan selalu rukun satu sama lain. Maka dalam hal ini dialog interaktif antar pemerintah dan masyarakat adat lebih sering diadakan sebagai langkah awal penataan kehidupan perkawinan yang lebih baik sesuai dengan tujuan perkawinan dalam Undang-Undang nomor 1 tahun 1974 yakni membentuk keluarga ( rumah tangga) bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Dengan adanya dialog yang berkesinambungan maka akan sangat baik menambah kesadaran masyarakat akan pentingnya nilai perkawinan monogami untuk suatu kualitas perkawinan yang baik dan bahagia lahir dan bathin.

b) Hak dan kedudukan janda dalam perkawinan hajambua tidak jelas, meskipun dalam hukum waris adat dayak janda adalah sebagai ahli waris atas harta peninggalan suaminya, tetapi karena mereka hidup dalam satu atap, maka sangat sulit untuk menentukan yang mana harta gono-gini perkawinan dengan isteri pertama dan yang mana harta gono-gini dengan isteri kedua. Sehingga hal ini juga kemungkinan lama kelamaan dapat menimbulkan masalah. Maka untuk mencegah terjadinya masalah tersebut perlu sekali pembinaan terhadap masyarakat yang bersangkutan agar menjadi lebih baik, yakni satu rumah dengan satu isteri. Untuk hal tersebut akan lebih baik bila demang-demang adatnya yang memberi pembinaan, karena pada demang adat lebih mengetahui akan kondisi masyarakatnya.